Karena kurang paham akan hal ini, jadi ada yang seenaknya memasukkan
suatu amalan yang sebenarnya berisi ibadah pada masalah adat, sampai ia
mengatakan, “Kenapa dilarang? Kan asalnya boleh?”
Beda antara Adat dan Ibadah
1. Ibadah kembali pada penjagaan agama dan ingin meraih
pahala di sisi Allah seperti iman dan shalat. Adat kembali pada penjagaan
diri, harta atau kehormatan seperti jual beli dan makanan.
2. Ibadah adalah hak Allah yang harus ditunaikan oleh
hamba seperti disebutkan dalam hadits Mu’adz, “Hak Allah yang harus
ditunaikan oleh hamba adalah hendaklah mereka menyembah Allah dan tidak berbuat syirik pada-Nya
dengan sesuatu pun” (Muttafaqun ‘alaih). Adapun adat adalah hak hamba
yang mengandung maslahat bagi mereka.
3. Ibadah dibangun di atas tawqif (dalil)
dan dicukupkan apa yang ada dalam dalil. Sedangkan adat terdapat kebebasan
untuk melakukannya selama tidak ada dalil yang melarang.
4. Ibadah tidak mungkin bagi akal memikirkan maksudnya,
seperti kita tidak perlu bertanya mengapa shalat Zhuhur empat raka’at.
Sedangkan adat ditunjukkan oleh akal manakah yang maslahat. (Diringkas dari
penjelasan Syaikh Dr. Muhammad bin Husain Al Jizaniy dinukil dari Multaqo Ahlil Hadits)
Kaidah Penting
Setelah kita memahami perbedaan antara adat dan ibadah, maka ada Kaidah
yang perlu diperhatikan yang disebutkan oleh para ulama. Mereka berkata,
كل تقرب إلى الله بفعل شيء من العادات أو المعاملات من وجه لم يعتبره الشارع فهو بدعة
“Setiap pendekatan diri pada Allah dengan melakukan perkara adat atau
muamalah dengan cara yang tidak dianggap oleh syari’at, maka ia
termasuk bid’ah”.
Kaidah ini di antaranya disebutkan oleh Imam Asy Syatibi dalam Al
I’tishom.
Contoh penerapan kaidah di atas:
1. Menjadikan memakai pakaian shuf (wol)
sebagai bentuk pendekatan diri pada Allah seperti yang dilakukan kalangan sufiyah.
2. Menjadikan diam (tidak berbicara) selamanya, enggan
makan daging (vegetarian) atau enggan minum air, begitu pula berdiri di
terik matahari tanpa mau mengambil tempat untuk berteduh, semua ini dilakukan
dalam rangka ibadah (pendekatan diri pada Allah).
Kaidah di atas berlaku untuk perkara adat dan muamalat saja yang
digunakan untuk mendekatkan diri pada Allah. Disebut bid’ah karena asalnya
tidak ada tuntunan, dan tata caranya tidak diajarkan dalam Islam. Ada juga
perkara adat atau muamalat yang secara hakiki termasuk bid’ah karena tidak ada
dalilnya secara umum, maupun secara terperinci.
Lihat bahasan di atas dalam Qowa’id Ma’rifatil Bida’ karya
Muhammad bin Husain Al Jizaniy, hal. 106-107.
Adat atau Muamalah Diniatkan Ibadah
Ada yang sering bertanya, “Berarti Facebook untuk dakwah itu
bid’ah, begitu pula mencari nafkah juga bid’ah jika diniatkan untuk ibadah
karena tidak ada dalilnya?” Nah, point berikut ini yang harus dipahami.
Perlu diketahui bahwa adat atau muamalah bisa termasuk ibadah dan bukan
bid’ah ketika memenuhi salah satu dari dua syarat:
1.
Dilakukan dengan niat yang benar.
2.
Sebagai wasilah (perantara) dan men-support amalan
shalih.
Dalil yang mendukung syarat pertama adalah hadits,
وَإِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ ، إِلاَّ أُجِرْتَ ، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِى فِى امْرَأَتِكَ
“Sesungguhnya engkau tidaklah menafkahkan suatu nafkah dalam rangka
mengharap wajah Allah melainkan akan diganjar dengan usaha itu sampai pun
sesuap makanan yang engkau masukkan dalam mulut istrimu.” (HR. Bukhari no.
6373 dan Muslim no. 1628).
Di sini disebutkan dengan niat ikhlas mengharap pahala di sisi Allah,
barulah perbuatan yang asalnya bukan ibadah berbuah pahala.
Dalil bahwasanya perbuatan non-ibadah jika sebagai wasilah (perantara)
pada ketaatan atau ibadah dapat bernilai pahala dapat disimpulkan dari firman
Allah Ta’ala,
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ لَا يُصِيبُهُمْ ظَمَأٌ وَلَا نَصَبٌ وَلَا مَخْمَصَةٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَطَئُونَ مَوْطِئًا يَغِيظُ الْكُفَّارَ وَلَا يَنَالُونَ مِنْ عَدُوٍّ نَيْلًا إِلَّا كُتِبَ لَهُمْ بِهِ عَمَلٌ صَالِحٌ
“Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan,
kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu
tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan
sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang
demikian itu suatu amal saleh.” (QS. At Taubah: 120). Ayat ini menunjukkan
bahwa wasilah (perantara) dan mendukung terwujudnya ketaatan dianggap sebagai
ketaataan pula dan bernilai pahala. [Lihat bahasan di atas dalam Qowa’id
Ma’rifatil Bida’, hal. 107]
Sebagai Wasilah (Perantara), Bukan Tujuan
Namun ingat di sini, itu jika perkara non-ibadah dijadikan sebagai sarana
dan bukan tujuan. Sehingga tidak tepat berdalil dengan point ini untuk
mendukung acara mauludan (peringatan Maulid Nabi)
dan acara bid’ah lainnya. Karena mauludansendiri yang dimaksud
adalah tujuan, bukan sarana karena yang melakukan mauludan memaksudkan amalan
tersebut untuk meraih pahala dengan dibacakan shalawat, dll. Sedangkan jika
seseorang menggunakan FB atau HP untuk berdakwah, itu sebagai wasilah (sarana)
dan bukan maksud atau tujuan. Jadi sungguh keliru yang serampangan dalam
menggunakan Kaidah ini karena tidak paham.
Dua syarat yang telah disebutkan sebelumnya dianggap oleh syari’at.
Sehingga tepatlah dalam Kaidah yang kami sebutkan di atas ditambahkan embel-embel,
“Setiap pendekatan diri pada Allah dengan melakukan perkara adat atau
muamalah dengan cara yang tidak dianggap oleh syari’at, maka ia
termasuk bid’ah.” Di antara cara yang tidak dianggap oleh syari’at adalah
menjadikan perkara non-ibadah (adat atau muamalat) secara dzatnya sebagai
bentuk ibadah kepada Allah. Inilah yang terjadi di tengah masyarakat kita pada
acara yasinan atau tahlilan. Acara ini termasuk adat, namun secara dzat
dimaksudkan untuk ibadah. Dan di dalamnya dikhususkan ibadah pula yang tidak
dituntunkan. Karena mengkhususkan selamatan kematian dengan surat Yasin atau
bacaan tahlil tidak ada dalil pendukungnya.
Ibnu Rajab dalam Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam berkata,
فمن تقرَّب إلى الله بعمل ، لم يجعله الله ورسولُه قربة إلى الله ، فعمله باطلٌ مردودٌ عليه
“Barangsiapa mendekatkan diri pada Allah dengan amalan yang Allah dan
Rasul-Nya tidak nilai sebagai ibadah (pendekatan diri pada-Nya), maka amalannya
batil dan tertolak.”
—
Coba renungkan berbagai amalan yang tersebar di tengah masyarakat, apakah
termasuk ibadah atau non-ibadah? Contohnya peringatan Maulid, apakah itu
non-ibadah? Bukankah -asalnya- acara maulid diadakan untuk cari pahala, bukan
untuk cari keuntungan seperti dalam jual beli? Kalau jelas ibadah, lantas
mengapa masih membuat rancu dengan mengatakan maulid Nabi itu perkara muamalat
(sehingga sah-sah saja diperingati) dan bukan ibadah padahal di dalamnya
terdapat shalawatan, yang tentu itu dimaksud untuk mendapatkan
pahala di sisi Allah?
Semoga jadi renungan, hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.
Diselesaikan selepas shalat Fajar di Mabna 27, Jami’ah Malik
Su’ud, Riyadh-KSA
Rabu, 18 Rabi’ul Awwal 1434 H
—
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id
Dari artikel 'Perbedaan Antara Adat Dan Ibadah — Muslim.Or.Id'
0 komentar:
Posting Komentar